Selasa, 18 November 2008

Pesan dari Ibu (Radar Banten)

Kembali terngiang-ngiang pesan ibu di telingaku. “Anakku, ingatlah kata-kata ibu ini. Jadilah orang yang berbakti kepada Tuhanmu dan kedua orang tuamu.

Oleh: Imel Maru
Lihatlah ayahmu itu. Aku kagum padanya. Dia adalah lelaki yang sangat menyayangi keluarga dan sangat taat beribadah. Jadilah seperti dia. Jadilah orang yang dikagumi istri dan anak-anakmu kelak”.
. . .
“Dasar anak bangsat! Kamu cuma anak yang tak tahu balas budi! Apa gunanya ibumu melahirkan anak sepertimu”. Suara lelaki tua itu menggelegar. Memekakkan semua telinga di ruangan itu.
Aku hanya bisa duduk termangu. Tak terasa air mata jatuh membasahi pipiku. Aku hendak menjelaskan semuanya. Namun sepertinya hati orang tua itu telah keras, sekeras batu karang yang tak mental diterjang ombak.
“Andai ada satu hal yang bisa saya perbuat untuk dapat membuat Bapak percaya pada kata-kata saya, Demi Allah! Niscaya saya akan melakukan itu”, kataku dengan suara yang sedikit tertahan.
“Hal itu adalah…”. Bapak menghentikan kata-katanya, dengusan napasnya terdengar mendesau-desau. “Jangan pernah lagi kau menginjakkan kakimu di rumah ini. Aku tak ingin melihatmu, mendengar suaramu dan anggap aku bukan bapakmu lagi! Sekarang cepat kau angkat kaki dari sini. Aku sudah muak melihat tampangmu itu!”. Kata-kata itu begitu tegas. Aku dapat mendengarkan kesungguhan hati lewat kata-katanya. Sudah tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.
Dengan dada terbusung, aku mengeguhkan hatiku. Mungkin ini adalah takdir yang aku harus lalui.
“Kalau ini memang keputusan Bapak, saya akan menurutinya. Tapi sampai kapanpun… Bapak tetap akan menjadi bapak saya!”. Aku mengangkat ranselku dan berjalan menyusuri jalan tak berbatas. Meninggalkan rumah tempat aku dilahirkan. Meninggalkan semua kenangan selama dua puluh tahun perjalanan hidupku. Dalam hati aku masih menyesali keputusan bapakku. Bukan keputusannya untuk mengusirku. Tapi keputusannya untuk menikahi wanita itu. Keputusannya untuk tidak mengindahkan agama. Berpaling dari agama rahmatan lil alamin. Mengingkarai eksistensi Tuhan azza wa jalla.
Dada ini terasa sesak. Apa yang ibuku pikirkan di alam sana melihat tingkah laku suaminya sekarang. Beliau pasti menangisinya. Bapak rupanya sudah kalap. Tiga bulan sudah sejak ibu menghembuskan napas terakhirnya. Awalnya bapak tegar menghadapinya. Tak tampak perubahan dalam dirinya. Ia malah terlihat lebih taat pada Agama. Ia senantiasa bersujud menghadapNya memohon keselamatan ibu di alam sana . Sampai beberapa minggu yang lalu. Bapak sudah jarang terlihat tersenyum. Aku lebih banyak mendapati dirinya mengurung diri di kamar sambil meratapi kepergian ibu. Dan yang lebih membuatku sedih adalah kenyataan bahwa bapak sudah mulai jarang sembahyang. Puncaknya adalah kemarin malam, saat dia datang bersama perempuan itu. Perempuan lacur yang sudah terkenal popularitasnya di masyarakat di seluruh kampung. Dari mulut bapak aku mencium bau alkohol yang membuatku ingin muntah. Aku lebih terkejut lagi saat bapak mengutarakan niatnya untuk menikahi wanita itu. Kontan aku menolaknya.
“Apa yang bapak pikirkan? Apakah bapak tidak tahu perempuan seperti apa dia?”, Aku sangat dikuasai emosi saat itu. Aku tak habis pikir dengan jalan pikiran bapak. Aku mahfum apabila dia ingin mencari pengganti ibu. Mencari seseorang tempat ia mencurahkan kasih sayangnya. Orang yang akan menyambut bapak dengan senyuman saat bapak pulang dari kerja dengan sejuta kepenatannya. Menyalurkan aktivitas biologisnya. Sangat manusiawi. Tapi mengapa harus wanita itu? Sudah habiskan wanita baik-baik di dunia ini sehingga bapak memilih wanita yang sehari-harinya hidup dalam kemaksiatan. Memang dia cantik dan tubuhnya molek. Tapi apakah lantas itu alasan bapak menyampingkan kualitas imannya? Bahkan budak hitam namun muslim lebih terhormat dibandingkan wanita cantik namun musyrik!
“Kau tahu apa soal hidup. Mau dia pelacur kek, mau dia tukang copet kek, mau dia itu ustsadzah kek, Bapak gak perduli. Kalau Bapak mau kawin sama dia. Ya itu berarti kamu harus menerima dia untuk menjadi ibu tiri kamu!”.
Aku tak tahu kata-kata yang diucapkan bapak itu benar-benar dari dalam hatinya atau hanyalah sekedar pengaruh alkohol.
“Istighfar, Pak”. Aku mengucapkannya tiga kali.
“Alah-, persetan. Kau ini masih bau kencur. Tak usah mengajariku!”. Ia mengucapkannya dengan nada tinggi.
“Kemana Bapak yang dulu? Kemana bapak yang dulu sangat mencintai Allah dan RasulNya? Kemana Bapak yang aku kenal sangat taat pada agamanya?”.
“Aku tak perduli dengan omong kosongmu lagi! Pokoknya aku akan menikah dengannya, titik!”.
“Kemana agama bapak?”.
“Aku sudah tidak punya agama!”.
“Kemana Tuhan bapak?”.
“Aku tak percaya Tuhan!”.
Aku sangat sedih mendengar jawaban Bapak. Apa telah sedemikian khilafkah Bapak sehingga dengan angkuhnya mengingkari adanya Allah azza wa jalla? Apalagi yang bisa aku perbuat jika terhadap Tuhan yang menciptakan dirinya saja bapak sudah tidak percaya?
“Baiklah, jika itu keputusan Bapak. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu!”.
Aku masuk ke kamarku dengan perasaan yang bercampur aduk. Bapak yang sangat aku hormati telah berubah. Rupanya bisikan setan lebih menguasai dirinya dibandingkan dengan seruan untuk kembali ke ajaran yang benar. Aku menangis sendirian. Dalam kepiluanku, tak henti-hentinya aku menyebut namaNya. Memohonkan ampunan untuk Bapak. Meminta belas kasihNya untuk memberikan hidayah pada Bapak.
“Ya Allah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, ampunilah dosa kedua orang tuaku dan kasih sayangilah mereka sebagaimana mereka telah memeliharaku dengan penuh kasih sayang”
Rupanya hati bapak telah tertutup. Keesokan harinya bapak menyuruhku ikut dengannya ke KUA. Bapak ingin menikah dengan perempuan itu. ia memintaku menjadi saksi. Aku kaget luar biasa.
“Demi Allah dan RasulNya, saya tidak bersedia!”, aku menolak dengan tegas.
“Kamu sudah berani membangkang pada bapakmu ini, -hah?!”.
“Saya tidak bermaksud membangkang. Bapak adalah orang yang paling saya hormati setelah Allah dan Rasulnya. Apabila saya menjadi saksi atas pernikahan Bapak, sama saja saya membenarkan tindakan Bapak. Apabila saya membenarkan Bapak, saya sama saja dengan orang lalim yang atasnya dijanjikan azab sepedih-pedihnya. Saya lebih takut pada Allah dan RasulNya dibandingkan apapun”.
Bapak memandangku dengan pandangan marah. Kebengisan tergambar di wajahnya.
“Dasar anak bangsat!”, umpatnya padaku.
. . .
Sumpah serapah Bapak kembali tengiang di kepalaku. Aku jadi teringat ibu. Kelembutan dan kasih sayangnya. Rasa cintanya pada suami dan anaknya. Apa yang dipikirkan saat ini?
Aku tersenyum kecut.
“Hah-“.
Ibu pasti sedang menangisi suami yang dikaguminya itu. Beliau pasti menyesali kata-katanya padaku. Wallahualam.

Tidak ada komentar: