Rabu, 19 November 2008

Gerakan Mahasiswa untuk ”Mahasiswa”? (Radar Banten) Kamis, 20-November-2008

Di tengah ramainya berita tentang krisis global yang memaksa pemerintah harus secara fokus bertindak menangani hal ini,
Triyo Saputra
muncul berita yang tidak mengenakkan dari bumi Indonesia bagian tengah, yaitu Makassar – Sulawesi Selatan. Berita ini adalah berita dari mahasiswa yang bertindak semena-mena dengan melakukan sweeping polisi di sekitar kampus. Berita ini amat inherent dengan berita-berita mahasiswa yang selalu kita dengar bahwa mahasiswa menjadi “pahlawan” pembela hak masyarakat.
Bagaimana reaksi anda saat mendengar kalimat, “sweeping mahasiswa terhadap aparat kepolisian”? Reaksi yang terjadi akan sangat beragam, tergantung dari sudut mana kita memandang. Namun, mari kita runtuntkan masalahnya terlebih dahulu. Masalah ini muncul ketika terjadi razia polisi terhadap pemuda-pemuda Makassar yang mengadakan ajang kebut-kebutan di jalan raya, dan salah satu yang terkena razia itu berasal dari mahasiswa. Namun saat dimintai keterangan akan keikutsertaannya dalam ajang tersebut, mahasiswa yang bersangkutan justru melarikan diri. Dari sinilah terjadi kejar-kejaran antar polisi dan mahasiswa. Dalam momen tersebut terdengar suara letusan yang nyaris mirip suaran pistol yang dipatik.
Masalah letusan ini yang menjadi pemicu tindakan anarkis mahasiswa dalam sweeping-nya terhadap polisi yang bertugas di sekitar kampus. Mahasiswa beralibi polisi telah melakukan pelanggaran dengan menembak teman mereka. Namun, polisi membalas alibi dilengkapi bukti bahwa tidak ada serbuk peluru di luka pelipis mata korban melalui hasil rontgen dokter.
Kronologis akan peristiwa tersebut sampai kini masih dilakukan pihak penyidik independen. Namun, sebenarnya apa yang terjadi dengan mahasiswa. Karena melalui berita yang seperti ini, sosok mahasiswa sebagai kaum intelektual bangsa seperti tertampar. Lalu pertanyaan berikutnya adalah siapakah mahasiswa? Mahasiswa seharusnya adalah sosok controller, intelektual, kelompok berkelas dalam tatanan masyarakat dan agent of change. Definisi makna yang terakhir adalah definisi yang selalu dijadikan spirit mahasiswa dalam setiap gerakan perubahan, sebut saja gerakan mahasiswa saat reformasi 1998. Saat itu mahasiswa menjadi sorotan publik dunia karena sudah mampu melakukan perubahan akan rezim yang terjadi di dalam bangsa. Sejak saat itu, pamor mahasiswa dalam kelompok masyarakat menjadi tinggi dan terhormat bahkan bila dibandingkan dengan kaum intelek kerah putih di parlemen. Kemudian mahasiswa menjadi tempat masyarakat untuk mengadu mengenai masalah ketidakadilan yang terjadi setelah reformasi.
Bukan satu kali kita mendengar berita kerusuhan yang dilakukan mahasiswa. Masih ingat betul di benak setiap mahasiswa di seluruh Indonesia tentang kerusuhan antarmahasiwa Unhas yaitu tawuran mahasiswa FISIP Unhas dengan mahasiswa Teknik Unhas. Sepertinya semangat pemuda untuk kemerdekaan tidak sama sekali terlihat di kampus ini, karena toh tawuran tersebut terjadi bahkan di penghujung bulan kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 31 Agustus 2005. Selain itu masih banyak lagi kerusuhan dan tindakan anarkis yang dilakukan mahasiswa Unhas baik antar mahasiswa ataupun masyarakat sekitar. Lalu, siapa yang sebenarnya menjadi pengontrol dalam perjalanan bangsa ini? Mahasiswa yang seperti inikah yang kita harapkan? Bagaimana mahasiswa yang seperti ini mengontrol aparat pemerintahan yang katanya melakukan tindakan semena-mena terhadap rakyat? Apakah masyarakat sebagai elemen bangsa harus menggantungkan nasib bangsa kepada mahasiswa?
Semua pertanyaan tersebut merupakan tamparan bagi mahasiswa seluruh Indonesia tentang apa yang akan dilakukan mahasiswa seluruh Indonesia dalam menanggapi hal ini.

Gerakan Mahasiswa
Aa Gym pernah berkata, “Mulailah dari diri sendiri sebelum mulai untuk orang lain!”. Dari perkataan sangat simple Aa Gym inilah yang harus benar-benar kita serap maknanya. Karena dari perkataan ini, dapat kita ambil kesimpulan bahwa sebelum mahasiswa melakukan gerakan koreksi terhadap siapapun, hendaknya koreksi harus dilakukan terlebih dahulu dari tubuh mahasiswa. Mungkin gerakannya bisa berupa Gerakan Mahasiswa untuk Mahasiswa, di mana mahasiswa seluruh Indonesia melakukan gerakan prihatin terhadap kasus yang terjadi pada sesama mahasiwa. Bila gerakan ini tidak dilakukan mahasiswa lainnya yang masih memegang asas agent of change dalam setiap tindakannya, maka masyarakat akan menilai bahwa mahasiswa bukanlah sosok tempat mereka mengadu karena mereka melihat mahasiswa justru sebagai pelaku kerusuhan.
Kita sudah tertampar, jadi mari sama-sama kita perbaiki, karena tamparan yang kita terima bukan menjadi tanda bahwa kita harus membalas tamparan tersebut melainkan menjadi tanda untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih intelek. (*)
Mahasiswa Untirta Banten

Tidak ada komentar: